Media Daring

 Di zaman yang tergolong keren sekaligus gila ini, orang-orang sudah tidak asing lagi dengan Media Daring atau lebih dikenal dengan Media Online atau Sosial Media. Penggunanya pun tak mengenal usia, istilahnya dari yang muda hingga yang tua. Menurut penelitian yang dilakukan Menteri komunikasi dan informatika, yang di dukung oleh UNICEF, bahwa aktivitas online dari sampel anak dan remaja yang melibatkan 400 responden berusia 10 sampai 19 tahun di seluruh Indonesia dan mewakili wilayah perkotaan dan pedesaan, sebanyak 98 persen dari anak dan remaja mengaku tahu tentang internet dan 79,5 persen di antaranya adalah pengguna internet. Berdasarkan hasil survei tersebut, telah terbukti pengguna internet yang paling banyak adalah anak-anak dan remaja, sekaligus korban terbanyak dari media daring. Dua minggu yang lalu, kembali media daring memperlihatkan sebuah video cyberbullying, dimana pemeran utama dari video tersebut adalah anak-anak sekolahan yang berjumlah 3-5 orang. Entah dengan alasan apa mereka mengupload video kekerasan itu di media sosial, dan ini telah terjadi untuk kesekian kalinya dengan orang yang berbeda tetapi jenis kekerasan yang diperlihatkan di dalam video sama.Ini adalah salah satu contoh kasus yang terjadi di selingkup media daring.

Media daring atau kita sebut saja sosmed, saat ini memang semakin kuat dalam hal doktrinisasi maupun sebagai penyebar hoax. Hal ini di karenakan meningkatnya jumlah pengguna sosmed dan menurunnya tingkat mencari tau dulu sebelum men-judge. Malas membaca juga merupakan salah satu penyebab dari meluasnya hoax, seperti yang saya bilang seseorang yang malas membaca berarti malas mencari tau akar dari permasalahan. Maka dari itu, orang yang malas membaca dengan enteng dan praktis mengcopy paste ucapan orang lain, jika di media daring yah mengcopy paste status orang lain. Sosial media merupakan tempat mengasykkan bagi segelintir manusia, namun dampak dari sosial media terkadang sudah ada dalam diri kita namun kita tidak menyadarinya, malah lebih mengomentari dampak yang ada pada orang lain. Sosial media juga kini telah menjadi momok yang sangat besar bagi manusia-manusia yang terkena penyakit narsisme, foto sana sini dengan baju yang mahal, foto makanan yang mahal, setelah itu di komentari oleh berbagai pengguna, lantas marah dan memaki kembali pengomentar, kemudian pertanyaannya yang salah siapa ? yang memosting atau yang berkomentar? Ini juga kegalauan yang terkadang hadir bagi pengguna sosial media, memosting berarti siap dikomentari, tapi terkadang ada yg ingin memosting seluruh aktivitasnya di sosial media dan memberi caption "Tidak usah komentari hidup saya", "Ini instagram saya, jadi mau-mau saya", dan caption lainnya yang menyinggung para komentator. Kalau menurut saya, kenapa mesti marah, kalau merasa itu urusan pribadi anda, kenapa harus diposting. Toh urusan anda telah menjadi urusan bersama jika sudah sampai di media sosial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kehidupan Berkarir ala Riffa Sancati

PULANG

Sisi Lain dari Kehidupan Mewah (Review Buku Sisi Tergelap Surga, by Brian Khrisna)